Wednesday, May 2, 2007

Perkembangan Fikih

Sejak persebaran Islam ke berbagai penjuru bumi pada masa al-khulafa’ al-rashidin, muncul pusat-pusat perkembangan ilmiah di negeri-negeri yang dikuasai oleh Islam seperti Mekah, Madinah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir dan Yaman. Perkembangan ini terjadi seiring dengan menyebarnya para sahabat Nabi ke berbagai penjuru negeri tersebut sebagai pemimpin maupun guru agama bagi rakyat setempat. Dari pusat-pusat keilmuan Islam yang ada, menguat dua aliran metodologi yang belakangan dikenal sebagai aliran Kufah atau Ahl al-Ra’yi dengan pusatnya di Irak dan aliran Madinah atau Ahl al-Hadith dengan pusatnya di Hijaz. Ahl al-Ra’yi dikenal sebagai aliran yang memiliki persyaratan ketat bagi penerimaan riwayat dan cenderung mempergunakan pendekatan rasional dalam memecahkan berbagai persoalan yang mengemuka. Sementara Ahl al-Hadith dikenal sebagai aliran yang sangat mengedepankan dalil-dalil dari teks suci baik al-Qur’an maupun al-Sunnah dalam menjawab persoalan yang ada. Adapun jika dari riwayat tidak diketemukan petunjuk, mereka cenderung bersikap tawaqquf atau memilih tidak memberi keputusan definitif terhadapnya. Dalam sejarahnya, antara kedua aliran ini terjadi perdebatan sengit yang berusaha saling mengunggulkan metodologi keilmuannya masing-masing.

Salah satu tokoh besar dari aliran Kufah yang belakangan dikenal sebagai peletak dasar mazhab fikih Hanafiyah adalah Abu Hanifah yang bernama asli al-Nu’man bin Thabit bin Zuta (700-767 M). Ia termasuk dalam generasi tabi’ut tabi’in yang menimba ilmu dari banyak tokoh seperti Hammad bin Abi Sulayman, ‘Ata’ bin Abi Rabbah, ‘Ikrimah, Nafi’, Zayd bin ‘Ali, dan Ja’far al-Sadiq. Dasar-dasar mazhab pemikiran tokoh yang semasa hidupnya pernah dihukum cambuk dan dipenjara oleh penguasa dinasti Umayyah dan Abbasiyah karena menolak menerima jabatan ini dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) Al-Qur’an; (2) Sunnah; (3) Ra’yu, dengan metode menemukan hukum: Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan Urf atau adat kebiasaan baik dari masyarakat setempat.

Mazhab ini sekarang banyak dianut oleh umat Islam di Turki, Syria, Irak, Afghanistan, Pakistan, India, Cina dan bekas wilayah Uni Soviet. Di Syria, Libanon dan Mesir, mazhab ini bahkan menjadi mazhab hukum resmi. Besarnya pengaruh pemikiran Abu Hanifah dalam bidang hukum Islam dapat terekam melalui komentar Imam Syafi’i berikut ini:
إن الناس كلهم عيال عليه في الفقه
“Dalam persoalan fikih, semua orang sebenarnya masih kerabat dekatnya (Abu Hanifah)”

Selanjutnya tokoh terkemuka dari aliran Madinah yang dikenal sebagai peletak dasar mazhab Malikiyah adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir al-Asbahi (713-795 M). Lelaki berdarah Arab ini belajar dari beberapa tokoh terkenal seperti ‘Abd al-Rahman bin Hurmuz, Ibn Shihab al-Zuhri, Rabi’ah bin ‘Abd al-Rahman, dan Yahya bin Sa’id al-Ansari. Mufti besar masjid Nabawi yang pernah dihukum cambuk oleh penguasa karena bersikeras meriwayatkan sebuah hadith yang sebelumnya telah dilarang oleh al-Mansur untuk mempublikasikannya itu, mazhabnya kini banyak dianut oleh umat Islam yang berdiam di Maroko, Aljazair, Libya, Mesir Selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait.

Adapun dasar-dasar referensial-metodologis dari mazhab pengarang kitab al-Muwatta’ itu adalah: (1) Al-Qur’an; (2) Al-Sunnah. Di sini Malik menerima hadith mursal sejauh perawinya terpercaya (tsiqat). Ia juga mendahulukan khabar ahad daripada qiyas; (3) Praktek penduduk Madinah. Menurutnya, tradisi keberagamaan mereka telah berakar sejak zaman Nabi sehingga layak menjadi hujjah (dasar hukum) melebihi qiyas; (4) Perkataan shahabat. Malik berasumsi bahwa para sahabat merupakan orang yang paling mengetahui wahyu dan sabda Nabi. Berdasar hal itu, maka perkataan atau pendapat para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil; (5) Al-Masalih al-Mursalah, yakni mengambil manfaat atau mencegah kerugian. Asumsinya bahwa kewajiban-kewajiban agama sebenarnya dimaksudkan tidak lain kecuali untuk memelihara tujuan-tujuannya baik yang daruriyah, hajiyah maupun tahsiniyah; (6) Al-Qiyas atau analogi hukum; dan (7) Sad al-Zarai’ , atau mencegah hal-hal yang pada dasarnya boleh tetapi dinilai dapat mengantar kepada hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh syariah.

Pada masa berikutnya muncul pemikir lainnya yang sangat berpengaruh di dunia Islam yaitu Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Uthman bin Shafi’ bin al-Saib bin ‘Ubayd b’Abd Yazid bin Hashim bin al-Muttalib bin ‘Abd Manaf (767-820 M). Peletak dasar mazhab Syafi’iyah ini memulai pendidikannya melalui ulama yang ada di kampung kelahirannya Mekah, kemudian berguru kepada Imam Malik hingga wafatnya di Madinah. Selanjutnya ia juga sempat menimba ilmu kepada Muhammad bin al-Hasan di Baghdad sehingga ia memiliki pengetahuan dari dua aliran fikih yang terkenal di dunia Islam kala itu yakni fikih Hijaz (ahl al-hadith) dan fikih Irak (ahl al-ra’yi). Pokok-pokok mazhabnya dapat diikhtisarkan sebagai berikut: (1) al-Qur’an dan al-Sunnah; (2) Ijma’; (3) Atsar Sahabat; dan (4) Qiyas.

Semasa hidupnya, Imam Syafi’i dikenal melewati tiga fase kehidupan intelektual yang penting sebagai berikut: (1) Fase Mekah, yakni sepulang studi di Baghdad sejak tahun 184 H kepada Muhammad bin al-Hasan. Seraya mengajar di Masjid al-Haram, ia menyempatkan diri untuk menulis karyanya yang dikenal sebagai al-Risalah; (2) Fase Baghdad, yakni kedatangannya untuk yang kedua kalinya pada tahun 195 H guna menyebarkan dan mematangkan pelajaran usul fikihnya; (3) Fase Mesir, yakni sejak kepindahannya ke negeri ini tahun 199 H. Fase ini dapat dikatakan sebagai masa kematangan intelektualnya. Menghadapi berbagai situasi dan kondisi kultural yang sangat berbeda di Mesir, Imam Syafii merevisi beberapa pemikiran usul maupun furu’-nya yang terdahulu, sehingga dikenal adanya qawl qadim (pendapat lama) dan qawl jadid (pendapat baru) dari Syafii. Pada masa inilah karya besar beliau al-Umm dituliskan. Revisi dari karya awalnya juga selesai pula di tempat ini, sehingga muncul pula istilah al-Risalah al-Qadimah (yakni yang ditulis di Mekah) dan al-Risalah al-Jadidah (edisi revisi setelah ia menetap hingga wafatnya di Mesir).

Tokoh terkemuka lainnya dalam bidang hukum Islam adalah Ahmad bin Hanbal (781-855 M). Beliau lahir di Irak dan sudah menjadi yatim sejak masih kanak-kanak. Pada masa perkembangannya, dia mendapati adanya dua metode studi ilmu syariah, yakni metode fikih dan metode hadith. Ia mengawalinya dengan studi fikih dari aliran ahl al-ra’yi melalui al-Qadi Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah. Kemudian beranjak mengkaji hadith kepada ulama-ulama di penjuru negeri seperti Irak, Syam, dan Hijaz. Ia juga sempat mulazamah kepada ahli hadith terkemuka di Baghdad, yakni Abu Hazim Hashim bin Bashir al-Wasiti. Pasca kematian gurunya tersebut, kembali ia berkelana ke berbagai negeri untuk mengumpulkan hadith. Ahmad bin Hanbal pertama kali bertemu Imam Syafi’i di Hijaz tahun 187 H. Sesudahnya, ia bertemu kembali di Baghdad dimana Ahmad belajar fikih dan usul darinya. Dia juga belajar dari ulama-ulama lain seperti ‘Abd al-Razzaq bin Hamam, Sufyan bin ‘Uyaynah, Yahya al-Qattan, al-Qalid bin Muslim, dan ‘Abd al-Rahman bin Mahdi.

Ahmad bin Hanbal sempat mengalami cobaan dan hukuman yang berat dari para penguasa mulai dari masa al-Ma’mun, al-Mu’tasim dan al-Wathiq karena menolak menerima akidah kemakhlukan al-Qur’an sebagaimana diyakini aliran Mu’tazilah yang berkuasa ketika itu. Adapun mazhabnya yang kini banyak dianut oleh penduduk Arab Saudi ini berdiri di atas fikih-sunnah dengan dasar-dasar utama berikut ini: (1) Al-Nusus. Dalam pandangan Ahmad, nash Kitab dan Sunnah berada dalam tingkatan yang satu tetapi dengan tingkat kehujjahan yang berbeda dimana sunnah berada sesudah Kitab. Bandingkan dengan pandangan al-Syafi’i sebelumnya; (2) Fatwa sahabat; (3) Hadith mursal dan dha’if adil. Beliau menerima mursal baik sahabi maupun bukan. Demikian pula halnya hadith dhaif diterima sebagai dalil jika memang tidak ada riwayat lain dalam hal tersebut termasuk fatwa para sahabat. Tetapi dhaif disini tidak dalam pengertian batil atau munkar atau dalam riwayatnya ada perawi yang muttaham (tertuduh sebagai pendusta). Jadi dalam tipologi Ahmad, hadith hanya ada 2, yakni sahih dan dhaif. Dhaif dalam tipologinya sejajar dengan hasan. Menurutnya:
الحديث الضعيف أحب إلي من الرأي
(4) Al-Qiyas. Metode ini dipakai dalam keadaan terpaksa jika sumber-sumber hukum sebelumnya tidak membicarakan persoalan tersebut.

Pada pertengahan abad ketiga hijriyah atau akhir abad ke-9 M, dimana fenomena mazhab dan aliran fikih telah terbentuk dan berkembang dalam komunitas umat Islam, pergerakan ilmiah tampaknya mengarah kepada usaha kritik dan kodifikasi hadits nabi. Hal ini terlihat melalui karya-karya besar yang belakangan dikenal dengan istilah al-kutub al-sittah (enam kitab hadits) karya para tokoh dari periode tersebut, yaitu: Bukhari (w. 870 M), Muslim (w. 875 M), Ibn Majah (w. 877 M), Abu Daud (w. 889 M), al-Turmuzi (w. 892 M), dan al-Nasa’i (w. 915 M). Sayangnya, memasuki abad ke-10 atau 11 Masehi, dinamika ilmu hukum Islam itu tampaknya mulai mengalami stagnasi. Ini terjadi di penghujung kekuasaan dinasti Abbasiyah dimana para ulama lebih asyik membatasi diri mempelajari pikiran-pikiran ulama sebelumnya dalam lingkaran mazhabiyah dengan pembahasan hal-hal yang bersifat furu’iyah. Sejak itulah gejala taqlid atau mengikuti saja pendapat ahli sebelumnya mulai menguat. Pemikiran yang muncul relatif terbatas pada bentuk komentar atau sekedar catatan-catatan atas pemikiran yang ada dalam mazhabnya sendiri. Jadi, orientasi studinya bukan lagi pada upaya memahami prinsip-prinsip atau nash-nash hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, melainkan ditumpukan pada pemahaman perkataan dan pemikiran para imam mazhabnya saja. Sementara dinamika masyarakat terus berkembang, pemikiran hukum justru berhenti berjalan dan berujung pada kemunduran. Faktor-faktor yang mendorong keadaan ini antara lain: retaknya kesatuan territorial Islam, ketidakstabilan politik, melemahnya kewibawaan pemerintah, dan lesunya kegairahan untuk berfikir merdeka. Faktor-faktor ini menjadikan jiwa dan ruh ijtihad yang begitu menyala di abad-abad sebelumnya menjadi tampak memudar bahkan padam dengan praktek taqlid mazhabiyah.

Kebangkitan gerakan pemikiran Islam mulai muncul kembali pada pertengahan kedua abad ke-19 M dengan seruan untuk al-ruju’ ila al-kitab wa al-sunnah (kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah). Gerakan ini mencoba menyegarkan iklim kebebasan berfikir di kalangan umat Islam dengan memurnikan pemahaman yang bersandar pada sumber otoritatif Islam yakni al-Qur’an dan al-Sunnah. Para tokoh gerakan ini, khususnya Muhammad Abduh di Mesir, sangat mengecam taqlid dan fanatisme mazhab yang telah membungkam dinamika intelektual di dunia Islam selama beberapa abad lamanya. Gerakan pembaharuan atau reformasi hukum Islam dalam perkembangan mutakhir kini semakin memperoleh tempat dalam wacana keislaman kontemporer dalam berbagai corak reinterpretasi, kontekstualisasi dan dekonstruksi.

No comments: