Thursday, May 3, 2007

Menelusuri Kecemasan pada Remaja


Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.

Jakarta, 08 Januari 2007

Bila banyak pihak mencemaskan individu yang berada pada masa remaja, bagaimana dengan kecemasan yang dialami pada remaja itu sendiri?

Period of storm and stress

Banyak alasan mengapa masa remaja menjadi sorotan yang tidak lekang waktu. Psikologi sendiri memandang periode ini sebagai periode yang penuh gejolak dengan menamakan period of storm and stress. Arnett menarik tiga tantangan tipikal yang secara general biasa dihadapi oleh remaja; (1) konflik dengan orangtua, (2) perubahan mood yang cepat, dan (3) perilaku beresiko (dalam Laugesen, 2003)

Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orangtua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orangtua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orangtua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis (dalam Perkins,2000).

Benarkah demikian? Agaknya para orangtua harus berbesar hati dan membuka diri agar tidak tertipu oleh model rambut, mode pakaian, musik yang berdebum di kamar remaja, juga gaya bahasa yang tidak jarang membuat telinga terasa penuh. Kedekatanlah yang bisa membuka mata dan hati untuk melihat lebih jernih nilai-nilai yang sebenarnya dipegang remaja. Bukankah penemuan Stenberg menjadi angin segar dan harapan yang menggembirakan di mana orangtua atau keluarga tetap menjadi model utama. Hanya penampilan tentu tidak selalu sama, era digital bukankah membawa berjuta pilihan? Tidak hanya bagi remaja, tetapi juga orangtua.

Mood yang naik turun juga sering terdengar dari celetukan remaja, “Bete niiih..” Ada dua mekanisme di mana mood mempengaruhi memori kita. (1) Mood-dependent memory ,suatu informasi atau realita yang menimbulkan mood tertentu, atau (2) Mood congruence effects, kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi positif kala mood sedang baik, dan sebaliknya informasi negatif lebih tertangkap atau diingat ketika mood sedang jelek (Byrne & Baron, 2000). Bisa dibayangkan bagaimana perubahan mood yang cepat pada remaja terkait dengan kecemasan yang mungkin terbentuk.

Remaja juga mempunyai reputasi berani mengambil resiko paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Hal ini pula yang mendorong remaja berpotensi meningkatkan kecemasan karena kenekatannya sering mengiring pada suatu perilaku atau tindakan dengan hasil yang tidak pasti. Keinginan yang besar untuk mencoba banyak hal menjadi salah satu pemicu utama. Perilaku nekat dan hasil yang tidak selalu jelas diasumsikan Arnett membuka peluang besar untuk meningkatnya kecemasan pada remaja (dalam Laugesen, 2003)


Empat model kognitif bagi kecemasan remaja

Laugesen (2003) dalam studinya tentang empat model kognitif yang digagas oleh Dugas, Gagnon, Ladouceur dan Freeston (1998) menemukan bahwa empat model kognitif tersebut efektif bagi pencegahan dan perlakuan terhadap kecemasan pada remaja. Kecemasan merupakan fenomena kognitif, fokus pada hasil negatif dan ketidakjelasan hasil di depan. Hal ini didasari dari definisi Vasey & Daleiden (dalam Laugesen,2003) berikut;

“Worry in childhood and adolescence has been defined as primarily an anticipatory cognitive process involving repetitive, primarily verbal thoughts related to possible threatening outcomes and their potential consequences.”

Empat model kognitif itu ialah (1) tidak toleran (intoleransi) terhadap ketidakpastian, (2) keyakinan positif tentang kecemasan, (3) orientasi negatif terhadap masalah, serta (4) penghindaran kognitif.

Pemahaman tiap variabel tersebut;

(1) intoleransi terhadap ketidakpastian merupakan bias kognitif yang mempengaruhi bagaimana seseorang menerima, menginterpretasi dan merespons ketidakpastian situasi pada tataran kognitif, emosi dan perilaku;

(2) sejumlah studi menunjukkan bahwa orang yang meyakini bahwa perasaan cemas dapat membimbing pada hasil positif seperti solusi yang lebih baik dari masalah, meningkatkan motivasi atau mencegah dan meminimalisir hasil negatif, dapat membantu mereka dalam menghadapi ketakutan dan kegelisahan;

(3) orientasi negatif terhadap masalah merupakan seperangkat kognitif negatif yang meliputi kecenderungan untuk menganggap masalah sebagai ancaman, memandangnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipecahkan, meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah, menjadi merasa frustrassi dan sangat terganggu ketika masalah muncul;

(4) penghindaran kognitif dikonsepsikan dalam dua cara, yakni (a) proses otomatis dalam menghindari bayangan mental yang mengancam dan (b) strategi untuk menekan pikiran-pikiran yang tidak diinginkan.

Studi Laugesen (2003) secara khusus menunjukkan dua hal penting yang bisa menjadi acuan; (1) intoleransi terhadap ketidakpastian dan orientasi negatif terhadap masalah merupakan target utama baik dalam pencegahan maupun perlakuan pada kecemasan yang berlebihan dan tidak terkendali pada remaja, (2) intoleransi terhadap ketidakpastian juga menjadi konstruk utama dalam kecemasan remaja. Hal lain yang sangat menarik dalam temuan Laugesen adalah intoleransi pada remaja berkorelasi dengan persepsi tentang tugas ambigu, namun tidak dengan kecemasan. Hal ini menunjukkan bahwa intoleransi dan kecemasan sebagai konstruk yang unik.

Intoleransi menjadi kunci penting dalam memahami kecemasan pada remaja. Secara logika bisa dipahami bahwa ketidakmampuan individu dalam menerima ketidakpastian sebagai salah satu kenyataan yang akan dihadapi cukup menggambarkan diri orang tersebut. Hal ini juga menarik untuk kembali melirik teori dan studi tentang diri. Laugesen (2003) juga menguji tingkat kecemasan (tinggi dan rendah), di mana intoleransi tetap berperan di dalamnya. Remaja atau individu yang bagaimana tepatnya yang berpeluang untuk mengalamai kecemasan tinggi, tidak terkendali, atau yang wajar?

Siapa Anda? Siapa saya?

Pada model kognitif orientasi negatif pada masalah, individu juga memiliki kecenderungan untuk meragukan kemampuan diri dalam menyelesaikan masalah yang datang. Hal ini menunjukkan peran self-efficacy dalam pembentukkan rasa cemas. Bandura (dalam Brown, 2005) menyatakan self-efficacy sebagai “a belief that one can perform a specific behavior,” dan “Self-efficacy is concerned not with the skills one has but with judgement of what one can do with whatever skills one possesses.” Individu dengan self-efficacy tinggi meyakini bahwa kerja keras untuk menghadapi tantangan hidup, sementara rendanhya self-efficacy kemungkinan besar akan memperlemah bahkan menghentikan usaha seseorang.

Pencarian identitas menjadi salah satu aikon pada masa remaja. Hal ini membawa kita untuk menelisik lebih jauh tentang self-concept yang ada maupun yang sedang terbentuk. Konsep diri merupakan cara individu memandang dirinya sendiri. Baron & Byrne (2000) merumuskan sebagai berikut, “self concept is one’s self identity, a schema consisting of an organized collection of beliefs and feelings about oneself.” Konsep diri berkembang sejalan dengan usia, namun juga merespons umpan balik yang ada, mengubah lingkungan seseorang atau status dan interaksi dengan orang lain. Pertanyaan “Siapa Anda? Siapa saya?” menjadi inti studi psikologi tentang konsep diri. Rentsch & Heffner (1994, dalam Byrne & Baron, 2000) menyimpulkan dari sekian ragam jawaban atas pertanyaan tersebut dalam dua kategori; (1) aspek identitas sosial dan (2) atribusi personal. Sebagian dari kita akan menjawab, Saya adalah arsitek, penulis, mahasiswa, dan lain sebagainya yang mengacu pada identitas sosial seseorang. Sebagian dari kita yang lain akan menjawab Saya periang, terbuka, pemalu, dan sebagainya yang lebih merujuk pada atribusi diri.

Sementara Rogers (2001) membagi konsep diri dalam dua kategori yang sedikit berbeda yakni (1) personal dan (2) sosial. Konsep diri personal adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri dari kacamata diri, misalnya “Saya merasa sebagai seorang yang terbuka terhadap kritik.” Sedangkan konsep diri sosial berangkat dari kacamata orang lain, seperti, “Teman-teman di kampus melihat saya sebagai orang yang keras kepala,” biasanya kalimat ini akan berlanjut dengan koreksi dari pandangan dirinya sendiri seperti “…padahal saya hanya mempertahankan pendapat saya saja.” Atau justru kalimat yang membenarkan pandangan lingkungan terhadap diri, seperti “…memang saya merasa susah menerima perbedaan sih..” Rogers menambahkan bahwa konsep diri individu yang sehat adalah ketika konsiten dengan pikiran, pengalaman dan perilaku. Konsep diri yang kuat bisa mendorong seseorang menjadi fleksibel dan memungkinkan ia untuk berkonfrontasi dengan pengalaman atau ide baru tanpa merasa terancam.

Lebih lanjut, pembahasan konsep diri membawa kita pada self-esteem, sebagai evaluasi atau sikap yang dipegang tentang diri sendiri baik dalam wilyah general maupun spesifik. Para ahli psikologi mengambil perbandingan antara konsep diri dengan konsep diri ideal atau yang diinginkan. Semakin kecil perbedaan atau diskrepansi antara keduanya, semakin tinggi self-esteem seseorang, “He/she is what he/she wants to be.” Salah satu hasil yang dituju dalam terapi Rogerian (self-centered therapy) adalah peningkatan self-esteem atau menurunkan gap antara diri dan diri ideal dalam seseorang.




Satu lagi yang perlu dipertimbangkan adalah faktor budaya. Perbedaan budaya memiliki pengaruh pada individu dalam menilai pengalaman emosi. Studi menunjukkan, di masyarkat kolektif, self critical menjadi norma, sementara di masyarakat individual, self enhancement yang berlaku (Baron & Byrne,2000). Hal ini memberikan sedikit petunjuk tentang apa yang menjadi obyek perhatian individu dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Apakah memang faktor eksternal yang lebih menentukan kecemasan remaja di masyarakat kolektif seperti Indonesia, di mana individu akan sangat terganggu jika tidak bisa memenuhi aturan main yang berkembang dengan lingkungan terutama teman sebaya? Ataukah justru pencapaian diri sudah mencuri perhatian remaja sebagai dampak dari era keterbukaan dengan kecanggihan teknologi informasi?

Masih terbuka banyak jalan untuk memahami kecemasan yang dialami remaja. Melengkapi studi Laugesen, self-efficacy, self-concept, self-esteem dan budaya menanti untuk digali khususnya pada remaja di Indonesia.

_________________________

Referensi:

Baron, Robert A, & Byrne, Donn (2000) Social psychology-ninth edition. Boston; Allyn and Bacon.

Brown, Ulysses J. (2005) College students and AIDS awareness: the effects of condom perception and self-efficacy. College Student Journal, March 2005.

Laugesen, Nina (2003) Understanding adolescent worry: the application of a cognitive model. Journal of Abnormal Child Psychology, Feb.2003

Perkins, daniel F. (2000) Resiliency and trhiving in family and youth. Vol.1.No.1,March 2000

Rogers,Carl (2001) Gale encyclopedia of psychology, 2nd ed. Gale Group,2001.

No comments: