Wednesday, May 2, 2007

Pengertian Fikih

Secara harfiah fikih (fiqh) berarti pengetahuan atau pemahaman yang mendalam tentang sesuatu, semisal maksud dari perkataan seseorang. Tetapi istilah ini selanjutnya berkembang menjadi nama khusus bagi ilmu tentang hukum agama Islam yang bersifat praktis (terkait dengan perbuatan manusia).
العلم يالأحكام الشرعية العملية المستفادة من أدلتها التفصيلية
Dalam khazanah keislaman, terdapat dua istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pada hukum Islam, yaitu: (1) Syari’at Islam (Islamic Law) dan (2) Fikih Islam (Islamic Jurisprudence).

Syariah dalam pengertian etimologisnya berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ alladzi yuqsad li al-Shurb). Kata ini kemudian dipakai bangsa Arab dengan makna jalan yang lurus (al-sirat al-mustaqim). Yakni sebagaimana sumber air merupakan jalan kehidupan dan keselamatan bagi tubuh, maka demikian pula halnya dengan jalan lurus yang padanya terdapat kualitas yang menghidupkan jiwa dan akal serta membimbing manusia kepada kebajikan. Istilah ini belakangan dipinjam sebagai jalan ketuhanan, sehingga syariat Islam lantas dipahami sebagai sesuatu yang khas datang langsung dari Allah yang disampaikan melalui para rasul-Nya kepada manusia. Dengan pengertian ini tentu terdapat perbedaan cukup substansial dengan apa yang dimaksud sebagai fikih.
ثم جعلناك على شريعة من الأمر فاتبعها
شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا والذي أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولا تتفرقوا فيه
Secara sederhana, hukum syariat berarti semua ketetapan hukum yang ditentukan langsung oleh Allah yang kini terdapat di dalam al-Qur’an dan penjelasan Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai Rasulullah yang kini dapat dibaca dalam kitab-kitab hadis. Sedangkan hukum fikih adalah ketentuan-ketentuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam. Maka dari itu, pemakaian istilah hukum Islam tanpa menjelaskan apa yang dimaksud seringkali menimbulkan salah pengertian terutama jika dihubungkan dengan aspek perubahan dan pengembangan di bidang hukum.

Sejauh ini, sistem hukum Islam mengenal adanya lima kategori hukum (al-ahkam al-khamsah) yang dipergunakan sebagai patokan atau pedoman untuk mengukur tingkah laku manusia baik di bidang ibadah maupun muamalah, yaitu: (1) ja’iz atau mubah atau ibahah, (2) sunnah, (3) makruh, (4) wajib dan (5) haram. Ibadah dalam konteks ini berarti cara dan tata cara manusia berhubungan langsung dengan Tuhan. Kaidah asal ibadah adalah larangan (haram). Maksudnya, semua perbuatan ibadah pada dasarnya dilarang untuk dilakukan kecuali secara tegas memang disuruh untuk melakukannya. Hal ini berbeda dengan muamalah yang berhubungan dengan kehidupan sosial manusia yang sifatnya terbuka. Kaidah asalnya adalah kebolehan (ibahah). Maksudnya, semua perbuatan pada asalnya boleh dilakukan kecuali terdapat larangannya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Pembaharuan dalam bidang muamalah ini dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan jiwa Islam pada umumnya.

Adapun tujuan hakiki dari adanya perintah dan larangan dalam hukum Islam (maqasid al-syari’ah) adalah realisasi dan pemeliharaan kemaslahatan manusia. Kemaslahatan ini dapat dipetakan menjadi tiga macam kepentingan:
(1) Daruriyah, bersifat primer dan niscaya bagi kehidupan manusia. Meliputi kebutuhan atas pemeliharaan agama (hifd al-din), jiwa (hifd al-nafs), akal (hifd al-’aql), keturunan (hifd al-nasl) dan harta (hifd al-mal);
(2) Hajiyah, yakni hal-hal yang dibutuhkan untuk mengatasi atau mengurangi beban, kesempitan dan kesusahan. Misalnya dalam hal ibadah terdapat konsep rukhsah yang memperkenankan orang sakit tidak berpuasa Ramadhan dengan kewajiban menggantinya ketika sudah sehat. Dalam mu’amalah juga dikenal konsep pengecualian dari kaidah umum (istithna’ min al-qawa’id al-’amah) serta keringanan (takhfif) dalam hal pemberian hukuman karena alasan-alasan tertentu;
(3) Tahsiniyah atau maslahah yang berkaitan dengan aspek keutamaan akhlak. Contohnya seperti perintah menutup aurat, larangan menjual barang yang haram, etika makan dan minum, larangan mutilasi dalam peperangan dan lainnya.
Maslahah yang bersifat tahsiniyah dapat dianggap sebagai pelengkap atau penyempurna (mukammil) dari kepentingan yang bersifat hajiyah. Demikian pula halnya maslahah yang bersifat hajiyah menjadi pelengkap dari kepentingan daruriyah.

No comments: