Wednesday, May 2, 2007

Munculnya Falsafah

Dalam sejarahnya, filsafat tidak muncul dari negeri antah-berantah. Kita mengenal filsafat terkadang melalui nama besar tokoh-tokohnya seperti Socrates, Buddha, Zarathustra, Mahavira, Kofusius dsb. Atau juga melalui ide-ide filsafat yang tak bisa kita runut lagi siapa yang menggagasnya. Atau juga melalui peradaban-peradaban besar yang dikenal kaya dengan tokoh-tokoh dan pemikiran-pemikiran filsafat seperti Yunani, Persia, India dan Mesir. Satu hal yang pasti, bahwa filsafat muncul di dunia tidak hanya sekali tetapi berkali-kali di berbagai tempat. Filsafat tidak dapat dibatasi pada suatu tradisi filosofis atau peradaban tertentu saja. Betapa banyak peradaban-peradaban lain yang ada di dunia ini yang tidak bisa diabaikan, yang mustahil bahwa mereka mampu membangun suatu peradaban tanpa ada kekuatan filosofis yang menopangnya.

Di dunia Islam, pemikiran filsafat mulai berkembang sejak abad ke-9 sampai abad ke-12 M bermula dari interaksi pemikir-pemikir muslim dengan karya-karya pemikiran filosofis yang telah berkembang lebih dulu di wilayah-wilayah baru yang dikuasai oleh Islam. Faktor yang memfasilitasi perkembangan ini terutama adalah gerakan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa asing ke dalam bahasa Arab, terutama karya-karya filsafat Yunani yang telah dimulai sejak abad ke-8 M. Hasil penelaahan para sarjana muslim terhadap karya-karya tersebut kemudian disistematisasikan dan diintegrasikan dengan pemahaman ajaran agama. Tradisi filsuf yang cukup berpengaruh dalam pemikiran filsuf muslim pada masa-masa awal terutama adalah pemikiran Aristoteles yang pengikutnya dikenal dengan sebutan peripatetik karena kebiasaan mereka yang mengajar sambil berjalan. Di samping itu mereka juga beroleh pengaruh dari pemikiran Plotinus terutama dalam penggunaan kerangka pemikiran emanasi.

Pada periode pertumbuhan itu, banyak filsuf muslim dengan kapasitas intelektual mengagumkan yang muncul dan menjadi terkenal dengan pemikirannya. Mereka umumnya dapat mengembangkan pemikirannya secara leluasa sehingga menumbuhkan dinamika intelektual tersendiri di kalangan umat. Wacana awal yang berkembang adalah tentang kedudukan dan peran akal sebagai instrumen untuk mencapai kebenaran di samping wahyu. Di masa itu, antara filsafat dan agama atau antara akal dan wahyu tidak dipandang sebagai oposisi-biner yang kontradiktif. Sebaliknya, kebenaran yang dicapai oleh filsafat dinilai tidak bertentang dengan kebenaran agama sungguhpun bentuknya berbeda. Fakta juga menunjukkan bahwa filsafat memberi kontribusi tersendiri bagi perkembangan Ilmu Kalam yang telah berjasa memajukan dan memperkokoh ajaran Islam dengan pemahaman yang bercorak rasional.

Tetapi belakangan, sejak abad ke-14 sampai memasuki abad ke-19, dunia Islam seolah takut mengkaji filsafat. Hal ini tampaknya dipicu munculnya persepsi minor yang mengatakan: man tamantaq faqad tazandaq atau barangsiapa menerima logika (mantiq), maka sungguh dia telah menjadi kafir (zindiq). Adapun latar berkembangnya persepsi ini tampaknya dapat dikembalikan kepada pertelingkahan pemikiran yang terjadi antara filsuf di satu sisi dan teolog bahkan fuqaha’ di sisi lain. Konstruk berfikir para filsuf yang memberi pengakuan lebih besar kepada akal untuk menemukan kebenaran memang cenderung menghasilkan pemikiran yang lebih liberal dibanding pemahaman para teolog maupun fuqaha’. Pengembangan wacana dari tradisi-tradisi pemikiran yang berbeda ini tak jarang berubah menjadi kompetisi aktual yang saling menyalahkan bahkan mengkafirkan. Maka, filsafat kemudian menjadi sasaran penyerangan dari ahli agama sebagai ajaran yang seolah menyesatkan umat dan para ahli filsafat juga dituduh sebagai para mulhid (atheis). Sejak itulah pengkajian filsafat menjadi meredup di dunia Islam. Baru di penghujung abad ke-19, Muhammad Abduh mulai menyuarakan kembali pentingnya mengkaji filsafat sebagai salah satu motor penting pengembangan keilmuan Islam.

No comments: