Wednesday, May 2, 2007

Kritik, Norma dan Utopia: Telaah Dasar Teori Kritis Jerman

PENGANTAR

Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat. Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia semakin dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.

Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia. Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia “bisa tidur nyenyak” dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security. Modernitas, komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi. Teknologi, komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan sebagainya[i].

Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa dipisahkan dengan aspek-aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan manusia[ii]. Dalam akumulasi kemajuan teknologi yang ada, tetap dilihat sebuah proses di mana manusia dibuat mabuk kepayang oleh modernitas, komunikasi dan teknologi modern. Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern bisa mengucilkan, memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia. Industri dan modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia.

Maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa mengkritisi dan melihat secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah manusia peroleh. Manusia boleh memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi manusia tetap menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan yang ada.

Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya – mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami modernitas manusia.

Kehadiran Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan kawan-kawan telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan yang kritis atas seluruh fenomena modernitas yang menjanjikan tapi juga kalau tidak hati-hati –menjerumuskan.

Meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi orang modern, tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan metodologis.

Untuk memahami secara lebih luas Teori Kritis, penulis mencoba untuk membuat wacana kecil yang didasarkan dari buku Seyla Benhabib yang berjudul CRITIQUE, NORM, AND UTOPIA: A Study of The Foundations of Critical Theory” (selanjutnya akan disebut CNU). Buku Seyla Benhabib ini dipilih karena dalam buku ini termuat beberapa argumen inti pemahaman Seyla Benhabib terhadap Teori Kritis. Argumentasi Seyla Benhabib begitu solid dan komprehensif mengkritisi beberapa kata kunci dalam aliran Teori Kritis.

Penulis akan membagi tulisan dalam makalah ini dalam tiga bagian inti. Bagian pertama penulis akan lebih banyak menulis tentang Teori Kritis dari tinjauan historis dan beberapa istilah dan pemahaman kunci dalam Teori Kritis. Bagian kedua, penulis mencoba untuk melihat secara ringkas pandangan Seyla Benhabib beberapa aspek teknis dan metodologis penulisan buku. Bagian ketiga, meski dalam bentuk yang sangat sederhana, penulis mencoba merekonstruksi bangun argumentasi Seyla Benhabib mengenai dasar-dasar Teori Kritis dalam buku tersebut. Pada bagian ini juga, penulis memberikan beberapa konsiderasi kritis atas bangun argumentasi yang dibangun oleh Seyla Benhabib[iii].

ALIRAN FRANKFURT, Teori Kritis (critical theory):

Sejarah dan Asumsi-Asumsi Kunci

Aliran Frankfurt atau sering dikenal sebagai Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule) merupakan sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institut für Sozialforschung Universitas Frankfurt. Para pemikir sosial Frankfurt ini membuat refleksi sosial kritis mengenai masyarakat pasca-industri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut membentuk dan mempengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Aliran Frankfurt dipelopori oleh Felix Weil pada tahun 1923. Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock (ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H. Marcuse (murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya[iv].

Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik masyarakat atau eine Kritische Theorie der Gesselschaft. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat – khususnya filsafat sosial pada waktu itu[v].

Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel. Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant.

Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom Immanuel Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme).

Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan pendasaran asumtif di atas dengan pemikiran Teori Kritis ? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant, dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa Freud.

Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang sudah dirasionalisasikan manusia.

Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu pula filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal. Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga, Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant.

Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan. Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus semakin meneguhkan atau mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis lebih melihat dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah. Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam kerangka berpikir praksis dan teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX (Martin Jay, pp. 42).

Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan mendamaikan realitas – kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri. Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau dilampaui (aufheben). Padahal, problematika manusia justru tetap tinggal menjadi kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia.

Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam bukunya yang berjudul “Das Kapital”, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan manusia dan penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis.

Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan pendasaran pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia atas praksis kapitalistis.

Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme mengalami kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan sukses mengalami “rekonfigurasi” sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi modern.

Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain, seperti politik – sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa konsep rasio manusia modern justru sangat bersifat instrumental. Segi instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks.

Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusia[vi]. Namun kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada “sesuatu yang hilang” pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh Marcuse sebagai “kesadaran palsu”.

Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx. Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme dalam seorang individual – dalam tataran mikro – dan masyarakat – dalam tataran makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis “ Studien über Autorität und Famili” (Sindhunata, 1983).

Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman rasio instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasionalitas.

Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis melihat pencerahan sebagai proses dialektika.

Masalahnya adalah Aufklarung yang sesungguhnya tidak berhasil menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973 selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).

Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi[vii] (Marcuse, One Dimensional Man, 1964 selanjutnya buku Marcuse akan disebut ODM). Hal ini tampak dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya.

Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif, mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif bersifat dialektis dan emansipatorik.

No comments: